Sunday, December 5, 2010

PUTRI HUJAN

Malam belum begitu larut. Hujan baru saja reda, menyisakan butiran-butiran bening di ujung kaca jendela. Angin malam menyeruak masuk lewat celah jendela yang sengaja tidak kututup rapat, mengibarkan korden yang menjuntai menutupinya. Dingin pun menelusup, menggerayangi permukaan kulitku yang malam ini hanya berlapiskan baju tidur yang cukup tipis.

Malam terus beranjak. Kusapukan pandangan keluar lewat jendela yang sedikit mulai berembun. Hujan ternyata belum sepenuhnya reda, aku lihat masih menyisakan gerimis tipis di luar sana. Kebetulan suasana malam di luar tidak begitu gelap, karena ada bohlam besar di samping rumah, yang sengaja dipasang untuk menerangi daerah sekitar. Jadi aku bisa dengan leluasa menikmati ritmik gerimis tipis yang menyerupai jarum-jarum kristal berjatuhan dari langit di bawah bias cahaya bohlam.

Hujan yang mendera dan gerimis tipis yang membasahi bumi, adalah hal yang mengagumkan. Hujan membawa suasana melankolis nan romantis di benakku. Aku begitu menyukai suasana seperti ini. dalam suasana seperti ini, sudah menjadi rutinitasku, memejamkan mata, lalu kuhirup udara dalam-dalam hingga memenuhi rongga paru-paru, dan menghembuskannya dengan tenang, setenang langit cerah tak berawan. “Cobalah dan rasakan, kau akan menemukan keindahan di dalamnya kawan“.


Putri Hujan. yah, begitulah namaku. Nama pemberian kedua orang tuaku, dan nama yang cukup aneh menurut kebanyakan orang. Aku tidak tahu apa hubungan namaku dengan hujan. yang kutahu sejak kecil aku memang sudah menyandang nama ini. Dan aku pun menyukainya. Walau kedengarannya aneh di telinga.


Tapi walau aku menyukainya, sering juga aku tersakiti karenanya. Suatu ketika aku pernah pulang ke rumah dalam keadaan menangis sehabis bermain bersama teman-temaku. begitu sampai di rumah aku langsung menghambur ke dalam pelukan ibuku, dan menangis di pangkuannya. Ibuku hanya tersenyum melihat tingkahku. Ah, senyum itu selalu saja menyihirku untuk menghentikan isak tangis. Aku begitu marah ketika seorang temanku mengejekku dengan sebutan anak hujan. Kata mereka aku adalah anak yang tidak jelas.

“Bunda, benarkah aku anak hujan seperti yang mereka katakan?“ Tanyaku pada ibu waktu itu.

Lagi-lagi ibuku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan polosku, “Anakku, ingatlah apa yang dikatakan orang lain belum tentu itu yang paling benar“, Ucapnya disela senyumnya. Aku yang waktu itu masih kecil, hanya diam membisu mendengar ucapan ibuku itu. Aku masih belum terlalu mengerti maksud dari kalimat yang terlontar dari senyum tipisnya.

Lalu apa yang membuat kedua orang tuaku menamaiku dengan Putri Hujan?. Apa karena aku terlahir sebagai perempuan? Atau, karena aku dilahirkan waktu turunnya hujan?. Kadang kala pertanyaan-pertanyaan seperti ini datang menghantui pikiran dan imajinasiku. Dan Setiap kali kutanyakan pada ayah atau pun ibuku, biasanya mereka hanya tersenyum dan berujar, “Karena pada hujan kami temukan keindahan anakku“. Atau, “Anakku, hujan adalah sumber kehidupan“. Ah, sebuah jawaban yang sama sekali tidak memuaskanku. Tapi walau demikian aku tetap sayang mereka. Aku juga tetap menyukai hujan. Hujan adalah sahabatku.

Kegilaanku pada hujan memang sudah bermula sejak kecil. Sejak aku sudah mulai bisa bermain di luar rumah bersama teman-temanku. Ketika hujan turun, aku akan segera berlari ke tengah halaman. Berlarian dari ujung ke ujung tanpa mengenal lelah. Jejingkrakan dengan kaki telanjang di tanah becek pekarangan rumah. Aku baru akan berhenti kalau bibirku sudah membiru dan telapak tanganku sudah memucat, serta gigi-giku mengeluarkan suara gemeretak karena menggigil kedinginan. Anehnya ayah dan ibu tidak pernah memarahiku, mereka biasanya hanya tersenyum di teras rumah, sambil mengawasi tingkahku di bawah hujan. Tidak seperti kebanyakan orang-orang tua lain di kampungku yang sering kali kulihat tidak segan-segan membentak anak-anaknya kalau melihat mereka sedang bermain di bawah hujan.

Aku sadar bermain dibawah hujan bukannya tanpa resiko, resiko terkena berbagai macam virus penyakit yang dibawa oleh hujan, seperti flu atau penyakit lain yang sejenisnya. Sudah sering kali aku terkena flu atau pun meriang disertai demam tinggi sehabis bermain di bawah hujan. pada saat-saat seperti itu baru kedua orang tuaku akan kelabakan. Dan sering kali mereka tidur bergantian menemaniku bebaring di tempat tidur. Tapi lagi-lagi mereka tidak pernah marah pada diriku. Pun tidak pernah menyalahkanku. Hanya saja biasanya mereka menasehatiku, “Lain kali main di bawah hujannya jangan lama-lama ya sayang“, begitulah biasanya ayah atau pun ibuku berbisik di telingaku, kemusian mengecup keningku. Tapi nasehat itu bagiku adalah angin lewat yang tidak pernah aku gubris. Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Kalau hujan turun, masih saja aku bermain di bawahnya tanpa menghiraukan waktu. Lagi-lagi ayah dan ibuku hanya tersenyum memandang ke arahku dari teras rumah.

Setelah beranjak dewasa aku masih tetap menyukai hujan. tapi kini lebih pada menghayatinya, tidak seperti waktu masih kecil dulu, yang suka berlarian ketika hujan. Hujan membawa suasana magis buatku. ketika hujan turun, kini aku lebih suka duduk di depan jendela kamarku, memandangi rinai-rinai hujan berjatuhan di balik kaca jendela. seperti malam ini, hujan turun cukup deras tapi tidak disertai angin seperti biasanya, dan itu menambah keindahannya malam ini. Hingga akhirnya melahirkan sebuah puisi dalam ruang imajinasiku.

Hujan pun singgah
Pada tiap helai genting atap rumah
Tetesnya yang mendenting
Meretas setiap aliran darah
Pada setiap rintiknya ingin kuungkap kisah
Kisah anak manusia yang dirundung resah


Aku selalu berhayal, kelak akan ada pangeran hujan datang, membawaku ke istana hujannya. Istana yang selama ini kuimpikan. Istana yang penuh dengan deraian hujan. Aku tahu itu hanya mimpi, tapi apa salahnya juga bermimpi. Bukankah sudah banyak terbukti kalau impian adalah modal dari segala sesuatu. Tidak jarang aku mendengar seseorang jadi jutawan hanya karena sebuah impian. Tidak jarang juga aku mendengar seseorang bisa mencapai cita-citanya, hanya karena sebuah impian.

Sementara hujan adalah impianku. Aku ingin hujan membuka jati diriku. Jati diri yang selama ini belum kutemukan sepenuhnya. Aku berharap pada hujan dapat kutemukan kesempurnaan jati diriku. Mungkin karena impian inilah akhirnya kenyataan itu terungkap.

Pada awalnya aku sudah tidak mau tahu lebih jauh lagi perihal nama Putri hujan yang selama ini telah mendarah daging dalam jiwaku. Karena aku sudah menemukan keindahan pada hujan itu sendiri. Hujan telah memberiku aroma rindu yang tak pernah lekang oleh waktu. Aroma hujan telah mendarah daging dalam setiap relung nafasku. Tapi takdir berkata lain. Yah, begitulah takdir, terkadang datang ketika kita tidak mengharapkan. Begitu juga sebaliknya kadang kita berharap namun takdir berkata lain di kemudian hari. Tapi bagaimana pun kita tidak bisa menyalahkan takdir. Karena kita hanya bisa berdoa dan berusaha, selebihnya tuhan yang menentukan.

Semuanya berawal dari pembicaraan ayah dan ibuku yang kudengar tanpa sengaja di suatu malam yang dingin sehabis hujan.

”Mungkin sudah saatnya kita menjelaskan pada Putri tentang siapa dia sebenarnya“, Terdengar ayahku berkata dengan suara yang sengaja dipelankan.

“Aku takut yah, aku takut dia masih belum bisa menerima kenyataan ini“, Ibuku menyahut dengan isak tangisnya.

“Kenyataan apa? Kenyataan kalau dia memang bukan anak kandung kita? Kenyaaan kalau kita hanya menemukannya di bawah hujan di depan pintu rumah kita?. Sudahlah, saya rasa dia sudah dewasa bu, bagaimana pun kita harus menjelaskan semua ini. Kita tidak boleh terus-menerus membohonginya. Lambat laun dia pasti tahu”.

Seketika aku seperti tidak berpijak di Bumi lagi. Pikiranku berkecamuk antara percaya dan tidak percaya. Kakiku kaku. Begitu sulit untuk kulangkahkan. Walau dengan tersendat, kulangkahkan kaki kembali ke dalam kamar. Kututup pintu kamar dengan pelan karena takut terdengar oleh kedua orang tuaku.

Kududuk di pinggir tempat tidur, menghadap jendela yang sedang berembun. Air mataku tiba-tiba mengalir. Namun tanpa isak tangis sedikit pun. Hujan di luar masih menyisakan gerimis. Segerimis hatiku malam ini, “Ternyata benar kata mereka, aku memang anak hujan".

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan dan komentar anda..^_^