Sunday, January 12, 2014

Ijen Expedition 2

Tulisan ini lanjutan dari tulisan sebelumnya; "Ijen Expedition"

“Bangun! Bangun euy!“, Suara Cindil berteriak membangunkan saya, Cepi, dan Juail yang tengah terbaring kedinginan di dalam tenda, yang sebenarnya semenit pun masih belum sempat memejamkan mata dengan sempurna. Malam itu tidur kami memang sempat terganggu, karena di salah satu sudut lapangan tempat kami medirikan tenda ada sebuah “komunitas“ yang sedang mengadakan acara. Sound System berdentam dan kembang api tak henti pecah di angkasa sepanjang malam. Belum lagi dingin yang membelit permukaan kulit.

“Ayo cepetan bangun, sudah jam dua belas nih, sudah banyak yang berangkat!“, Rivo menambahkan dari balik kegelapan.

Saya pun segera keluar dari tenda mungil yang sebenarnya hanya cukup untuk dua orang itu, begitu pun dengan Cepi dan Juail. Kami segera membongkar tenda dan membereskan barang serta peralatan camping yang masih berceceran, lalu memasukkannya ke dalam Tas Carrier milik Cepi. Saya pun tak lupa segera mengecek semua barang bawaanku dan bersiap-siap untuk memulai pendakian malam itu.

Setelah semua dirasa sudah siap, akhirnya sekitar jam 00:30 kami berlima berangkat, dan memulai pendakian setelah sebelumnya berdoa bersama terlebih dahulu. Dengan kantuk yang sama sekali belum sepenuhnya hilang, saya pun melangkah dengan terseok-seok mengikuti jalur pendakian, menembus kegelapan malam.

Medan awal pendakinan jalurnya masih tampak landai, namun makin lama jalur pendakian mulai terasa semakin terjal dan miring. Barangkali kemiringannya berkisar antara 30-35. Sesekali kami menyalip pendaki lain atau sebaliknya kami yang disalip oleh rombongan lain, kebetulan malam itu Gunung Ijen memang ramai sekali dengan para pendaki, bahkan diantara mereka saya sempat melihat para pendaki asing.

Malam terus merambat pelan. Kami berlima masih terus berjalan, membelah malam di tengah bubukitan terjal. Gugusan bintang, desau angin malam, dan suara riuh binatang jalang,  tak henti-henti menyapa kami di sepanjang pendakian. Sesekali kami beristirahat sejenak di pinggir jalan, bersandar pada akar-akar pepohonan, batang pohon tumbang, bahkan di atas tanah basah sekalipun tanpa beralaskan apapun. Dari radius berpuluh-puluh meter saya dapat melihat sinar senter para pendaki membentuk titik-titik cahaya kecil yang terlihat seperti kunan-kunang. Mereka adalah para pendaki yang telah berangkat jauh sebelum kami.


Setelah kurang lebih satu jam melakukan pendakian, akhirnya kami pun sampai di Pondok Bunder, salah satu post tempat istirahat yang ada di ketinggian 2214 Meter Di Atas Permukaan Laut (MDPL). Pondok bunder merupakan post tempat transit para penambang untuk menimbang hasil belerang yang dibawa dari puncak gunung. Namun juga digunakan sebagai tempat istirahat oleh para pendaki. Di tempat ini juga dilengkapi dengan fasilitas warung yang menyediakan air mineral dan beberapa keperluan lain. Kami pun ikut beristirahat sejenak dan berbaur bersama beberapa rombongan lain untuk melepas lelah.

Kurang lebih lima belas menit lamanya kami beristirahat di Pondok Bunder, setelah itu kami segera melanjutkan pendakian kembali, karena pendakian masih tinggal separuh perjalanan lagi. Track pendakian selanjutnya terbilang cukup landai, namun harus tetap waspada karena jalur yang harus kami lalui selanjutnya adalah jalan yang berada di tepi jurang. Di tepi kiri merupakan lereng terjal sedangkan disamping kanan adalah jurang yang teramat dalam. Kami harus extra hati-hati, sedikit saja salah langkah tentu saja kita akan nyungsep ke dasar jurang.

Sejak dari peristirahatan Pondok Bunder tadi, saya mengambil alih Tas Carier yang berisi peralatan camping. Sedangkan ransel saya sendiri diambil alih oleh Rivo. Kami bergantian memanggul Carier karena di dalamnya berisi peralatan camping yang memiliki beban cukup berat. Sambil menyusuri lereng terjal di kegelapan saya memanggul carier itu dengan langkah terseok-seok. Ini pertama kalinya saya memanggul Tas Carier sebegini gede. Tapi itu semua tidak menyurutkan semangat saya untuk terus melangkah menuju puncak.

Setelah dua jam lebih berjalan menyusuri kegelapan malam dengan bantuan dua buah sorot senter yang kami bawa, akhirnya kami pun sampai di puncak Gunung Ijen. Para pendaki lain tampak bergerombol dengan rombongan masing-masing sambil bersembunyi di balik ceruk bebatuan mencoba melindungi diri dari dingin yang semakin mendekap erat. Waktu kira-kira sudah menunjukkan pukul 02 : 30, ternyata kami sampai lebih cepat dari pada yang kami perkirakan.

Sesampai di puncak, saya, Cindil, dan Rivo langsung bergegas menuju kawasan Blue Fire yang berada tepat di samping kawah. Sedang cepi dan juail lebih memilih tinggal di atas. Untuk sampai di samping kawah kami masih harus menuruni tebing curam dan licin yang jaraknya berkisar antara 100 meteran ke dalam perut gunung. Jalannya yang licin dengan tebing yang teramat curam kembali memacu adrenalin kami. Jika sedikit saja terpeleset barangkali kita akan langsung tercebur ke dalam kawah atau jatuh ke bebatuan runcing yag ada di bawah. 

Blue Fire


Me, Cepi, Juail, Cindil, Rivo
Satu-satu saya terus melangkah, berpijakan pada bebatuan licin dan berpegangan pada tebing. Dari kejauhan sudah terlihat cahaya biru yang memancar dari arah kawah. Cahaya itu yang sering kali disebut dengan “Blue Fire” oleh para pendaki. Api alam berwarna biru yang konon hanya ada dua di Dunia, di Islandia dan di Bumi Pertiwi ini, yaitu yang berada di kawah ijen ini sendiri.

Di tengah perjalanan saat menuruni tebing beberapa kali saya berpapasan dengan para penambang yang memikul bongkahan belerang yang diambil dari sekitar kawah. Gunung Ijen memang memiliki kandungan belerang yang sangat tinggi yang bersumber dari perut gunung. Konon potensi belerang dari gunung ini bisa mencapai 60 ton per hari. Sedangkan dari jumlah itu hanya 20 persen saja yang dimanfaatkan oleh sekitar 350 penambang. Atau sekitar 15 ton saja dari sekian banyak belerang yang dihasilkan oleh kawah Ijen.

Setelah sampai di bibir kawah, saya dapat dengan jelas melihat nyala api biru yang timbul tenggelam karena terhalang oleh luapan asap tebal yang dihasilkan dari pembakaran belerang oleh Blue Fire itu sendiri. Bau belerang segera memenuhi indra penciuman saya. Angin bergolak tak tentu arah, sesekali bergolak ke arah tempat saya berdiri di pinggiran kawah dengan membawa gumpalan asap tebal yang memerihkan mata. Oleh sebab itu saya tak berani berlama-lama berada di bibir kawah ini, karena bau belerang dan kepulan asap itu cukup berbahaya bagi pernafasan. Saya pun sempat terbatuk-batuk ketika tanpa sengaja menghirup asap belerang itu. Tak lama kemudian akhirnya saya kembali ke arah tempat saya datang tadi, kembali menaiki tebing terjal sambil berpegangan pada bebatuan curam untuk kembali ke puncak.
----

Malam rupanya masih cukup pajang. Masih tinggal sekitar 2 jam lagi fajar akan menyingsing. Saya, Cindil, dan Rivo kembali ke puncak dan bergabung kembali dengan Cepi dan Juail. Kami segera bersembunyi di balik salah satu ceruk bebatuan, berlindung dari dinginnya angin puncak ijen. saya mencoba membuat api unggun dengan kayu seadanya untuk mengusir dingin yang semakin mencekal.

Malam terus merambat dengan perlahan, angin dingin masih menyeruak masuk ke sela pakaian yang saya kenakan. Tanpa pikir panjang saya segera merebahkan diri di atas permukaan tanah berselimutkan kain sarung lusuh yang sengaja saya bawa dari rumah. Langit malam itu tampak indah, memamerkan rembulan dan gugusan bintang dari jarak lebih yang dekat. Perlahan mataku memejam, merenungi luasnya alam, dan menghayati kelamnya malam. Dan akhirnya, dini hari itu juga kami rebah dalam dekap dingin yang mencekam hingga fajar datang menjelang.

Ijen In Memorian, 17-18 Agustus 2013 M *diselesaikan di cairo, 12 Januari 2014 M.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan dan komentar anda..^_^