Saturday, February 1, 2014

Sina´, I Got You!

Jam sudah menunjukkan pukul 00:00 ketika dua Bus rombongan Tour yang saya ikuti tiba di Kaki Gunung Sinai, atau tepatnya di depan pintu masuk jalur pendakian menuju puncak. Dinginnya udara malam pegunungan segera menyambut kedatangan kami begitu kami keluar dari dalam Bus. Para pengunjung yang akan mendaki malam itu ternyata cukup banyak, baik pengunjung local maupun asing sama-sama tumpah ruah, Semuanya tampak berjubel di depan pintu masuk menanti giliran pemeriksaan sepelum memulai pendakian.

Saya tidak menyangka pendakian ke Jabal Musa ini sampai sebegitu ketatnya. Tak ubahnya memasuki istana kepresidenan saja, satu persatu para pendaki diperiksa, Carier dan Ransel dibuka dan digeledah, setelah itu kita masih harus melalui Metal Detector yang menyerupai pintu “kemana sajanya” Doraemon. Dan hal ini cukup banyak memakan waktu, hingga kami semua baru selesai menjalani pemeriksaan sekitar jam 12 : 30.  


Berselang beberapa menit setelah selesai menjalani prosedur pemeriksaan saya beserta rombongan yang lain segera memulai pendakian menembus kegelapan malam. satu-satu saya melangkahkan kaki mengikuti jalur pendakian. Ada dua jalur yang bisa digunakan oleh pendaki untuk bisa sampai di puncak. Pertama, jalur yang dikenal dengan nama Step Of Repentance atau biasa disebut dengan “Tangga Pengampunan”. Jalur ini berupa undakan batu yang konon dibangun oleh para Biarawan St. Catherine yang berada di kaki gunung Sinai.
 
Kedua, jalur Shiket el-Bashait, jalur ini dibangun oleh salah satu penguasa Mesir yang bernama Ibrahim Abbas Pasha pada tahun 1853. Dan malam ini rombongan kami memilih jalur yang kedua ini, karena walaupun jaraknya lebih jauh, tapi jalannya relatif landai dan cukup mudah untuk dilalui. Kedua jalur ini, baik Step Of Repentance maupun Shiket el-Bashait, nantinya sama-sama akan berujung di "Seven Elders of Israel", Post terakhir sebelum menuju puncak yang berupa tangga-tangga batu yang konon berjumlah 750 anak tangga menuju puncak


Waktu terus beranjak pelan. Malam pecah dengan riuh para pendaki yang tampak berjalan beriringan memenuhi sepanjang jalur pendakian. Saya, Icam, dan Saddad, kami bertiga yang sejak awal berjalan bersama memisahkan diri dari rombongan dan memilih berjalan sendiri mengikuti naluri kami. Sementara rombongan kami sebagian masih ada di belakang dan sebagian lagi sudah berjalan mendahului kami.

Di sepanjang perjalanan beberapa kali saya berpapasan dengan para penduduk lokal yang berasal dari suku Badui penghuni sekitar kaki gunung Sinai. Tak heti-hentinya mereka menawarkan jasa pendakian dengan menunggangi Unta. Oleh karena itu selain dikenal dengan Shiket el-Bashait, jalur yang saya lewati ini disebut juga dengan Jalur Unta. Karena banyaknya suku badui yang menawarkan jasa pendakian dengan menunggangi Unta. Tarif yang  mereka tawarkan pun beragam, mulai dari 150 hingga 200 le. Tarif yang lumayan mencekik bagi kantong kami yang kebetulan memang membawa bekal pas-pasan ini.

Debu tampak beterbangan tersepak oleh kaki-kaki para pendaki. Saya dapat melihat dengan jelas debu-debu itu berterbangan di kegelapan malam karena terpaan sinar Head Lamp yang saya kenakan. Sementara trak pendakian makin lama makin terjal, menanjak, dan berbentuk zig-zag. Jalur pendakian menuju puncak gunung sinai sebenarnya tidak terlalu sulit, namun karena jalur yang  dilalui hampir seluruhnya adalah hamparan dan bongkahan bebatuan, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pendaki.

Sepanjang jalur pendakian saya juga sempat menemukan beberapa post peristirahatan, entah ada berapa banyak post saya tidak sempat menghitungnya. Post-post itu merangkap sebuah warung yang menyediakan berbagai macam kebutuhan baik makanan dan beberapa keperluan pendakian lainnya. Namun dengan harga yang cukup menggila tentunya. Indomi yang di kairo berharga 1,5le. Di sini bisa sampai 10-15 le. 


Malam terus beranjak menuju pagi. Setelah tertatih-tatih kurang lebih 4 jam lamanya menaiki ratusan ratusan anak tangga di sepanjang jalur pendakian, saya pun akhirnya sampai di puncak. Jam kira-kira sudah menunjukkan pukul 05:00. Dingin lagi-lagi menyergap sekujur tubuh, suasana gelap masih menyelimuti seluruh puncak gunung sinai. Para pendaki yang sudah sampai terlebih dahulu sudah memenuhi setiap sudut puncak Sinai, bersembunyi di balik ceruk bebatuan, merapat pada dinding gereja tua yang berada di puncak, dan sialnya saya dan kedua teman saya sempat tidak mendapatkan tempat yang tepat untuk bersembunyi dari dingin yang semakin menggila.

Sebelum menemukan tempat yang tepat untuk berlindung dari dinginnya angin malam, saya sempat mengigil kedinginan di atas sebuah batu sambil terbengong memandangi Basilika tua yang berdiri gagah di keremangan malam. inilah The Chapel Of The Holly Trinity, sebuah Kapel atau Gereja kecil yang konon dibangun di atas Loh atau lempengan batu yang bertuliskan 10 perintah Allah kepada Nabi Musa As.

The Chapel Of The Holly Trinity memiki sejarah yang panjang, beberapa kali mengalami pasang surut karena pengaruh kekuasaan yang menguasai Semenanjung Sinai. Sejarah mencatat pertama kali Basilika ini dibangun pada tahun 363 M, namun karena konstruksi yang kurang memadai bangunan basilika ini sempat runtuh, lalu dibangun ulang oleh salah satu Kaisar Romawi yang bernama Justinian pada tahun 530.
 
The Chapel Of Holly Trinity
Selanjutnya pada abad ke-11 lagi-lagi basilika Justinian ini runtuh karena serangan Al-Hakim bin Amrillah, Khalifah ke 6 Dinansti Fatimiyah di mesir, yang memang terkenal dengan ke-intolerannya terhadap pemeluk agama lain, khususnya Kristen. Karena sikap intolerannya ini pada masa kekuasaanya tercatat kurang lebih sebanyak 3 ribuan gereja dihancurkan di seluruh tanah mesir. Bahkan salah satu gereja terpenting umat Kristen yang berada di Yerussalem, “Church of the Holy Sepulchre“ atau Gereja Makam Kudus juga tak luput dari agresi penghancuran. (Gereja Makam Kudus oleh umat kristen diyakini sebagai tempat penyaliban Yesus)




Setelah hampir dua jam menunggu dalam dekap dingin yang mencekam, pagi akhirnya menjelang. Seberkas semburat bola kemerahan menyembul dari ufuk timur. Pendarnya yang keperakan perlahan menerpa seluruh puncak Sinai. Semua mata mengarah pada satu titik, memandangi mentari yang perlahan muncul dari balik batas cakrawala. Sunrise muncul dengan indahnya. 


Dan di puncak bagian selatan samar-samar saya masih melihat butiran salju yang mengendap di celah bebatuan. Sayangnya kami datang agak terlambat, salju yang ada di puncak gunung sinai kini sudah banyak yang mencair karena musim dingin sepertinya juga tidak lama lagi akan berakhir. Namun semua itu tetap tidak mengurangi kebahagian saya pagi itu. Semua kelelahan dan dingin yang mendekap sejak semalam, tiba-tiba terbayar sudah setelah melihat panorama indah di sekeliling puncak gunung Sinai.

Ah! Akhirnya, 2285 Meter Di Atas Permukaan Laut, tanpa saya sadari saya telah berdiri di puncak tertinggi tanah Mesir. 

Cairo,  01 Februari 2014 M


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan dan komentar anda..^_^