Dulu semasa di pesantren, saya sempat bergabung
dengan SSA (Sanggar Sastra Al-Amien), salah satu kelompok pecinta sastra paling
bergengsi di lingkungan pesantren kami. Jujur memang saya tergolong anggota
yang tidak terlalu aktif di kelompok ini, tapi setidaknya dari sini saya sempat
belajar sedikit-demi sedikit tentang dunia kepenulisan, baik berupa Puisi, Cerpen,
Berita, dan jenis tulisan lainnya.
Dan siang ini, saya teringat kalau dulu
saya sempat mendapat tugas dari guru senior di SSA untuk menulis sebuah Cerita Pendek
(Cerpen). Lalu, iseng iseng saya pun mengotak-atik folder-folder pribadiku, dan
menemukan file cerpen tersebut masih tersimpan rapi di salah satu folder dalam
Net Bookku,yang sebelumnya memang saya pindahkan dari hardish computerku yang
telah lama rusak. File tersebut berkumpul
dengan file tugas-tugas kelas akhir saya waktu di pesantren dulu.
saya tidak tahu kapan tanggal pastinya saya menyelesaikan cerpen tersebut, tapi yang jelas saya masih ingat kalau saya menulisnya sekitar Tahun 2005, ketika saya masih duduk di kelas 5 TMI Al-Amien Prenduan waktu itu. Tanpa terasa usia cerpen ini sudah sekitar sembilan tahunan lamanya. Wew, betapa waktu terasa demikian singkat.
Ini dia cerpen tersebut, masih asli, tanpa editing, tanpa imbuhan garam,
vetsin, dan penyedap rasa lainnya. So, harap dimaklumi kalau terlihat masih alay
dan cupu hehe..:D Here we go! :
DERAI DERAI KAMPUNG HALAMAN
Oleh : Imam Bukhori Muslim
Sudah dua jam aku terkatung-katung
dalam angkutan desa ini. Perjalanan ke rumahku memang cukup melelahkan. Di sana-sini
banyak jalan rusak dan berlubang. Tidak jauh beda dengan tiga tahun lalu
sewaktu aku masih berada di desa ini. Entah mengapa keprihatinan pemerintah
setempat seakan pudar, tidak pernah menghiraukan keadaan lingkungannya. Aku
sering berpikir kemanakah bantuan yang dikirimkan pemerintah pusat selama ini. Semua
itu seakan hilang tak berbekas. Di samping itu semua, perjalanan kadang
menanjak dan berliku.
Kini kusapukan pandanganku pada
hamparan persawahan yang luas. Tampak dari kaca mobil yang kutumpangi beberapa
petani berjalan beriringan di pematang sawah. Aku jadi teringat mendiang ayahku,
ketika beliau masih hidup. Beliau adalah salah satu tipe orang yang ulet dan
tekun dalam bekerja.
”Buang sifat malas itu jauh-jauh
cong…!” Begitulah ayah sering menasehatiku. Aku selalu ingat pesan itu, dan
telah kucoba menerapkannya dalam keseharianku.
Matahari sudah pas di atas kepala. Kulihat
arlojiku, jam sudah menunjukkan pukul setengah satu. Udara semakin memanas.
Kukipas-kipaskan koran yang tadi pagi aku beli dari stasiun dengan tidak melepaskan
pandanganku pada pemandangan di samping kiri-kananku.
Perjalanan terus berlanjut. Pepohonan
seakan berkejaran saling mendahului. Kuedarkan pandanganku ke seluruh penumpang
mobil yang kutumpangi ini. Semua orang tampak kelelahan dan kepanasan. Akupun begitu,
peluh mulai meleleh dari keningku dan membasahi wajahku. Kuambil sapu tangan
dari dalam saku celana dan kulapkan pada wajahku untuk mengurangi rasa gerah.
“Turun mana dik ..!” tegur seorang
kenek padaku.
“Desa Suramadu mas,” jawabku pelan.
Kulihat kenek itu hanya
manggut-manggut. Setelah itu tidak ada pertanyaan lagi. Aku tidak peduli dengan
kejadian tadi, karena sebentar lagi aku akan sampai di rumahku.
“Desa Suramadu pir…!” Tteriak
kenek tibatiba dengan lantang.tanpa banyak kata supir itu menghentikan
kendaraannya tepat didepan balai desa.
Setelah membayar ongkos pada
kenek akupun segera turun dari mobil. Dari balai desa ini aku harus berjalan
beberapa meter ke timur karena letak rumahku berada di sebelah timur balai desa
ini. Setelah berjalan beberapa meter ke arah timur. Alhamdulillah akhirnya aku
sampai juga di rumah yang telah kutinggalkan selama tiga tahun lebih ini.
Aku bediri mematung di pinggir
jalan depan rumahku. Rumah mungil dengan latar belakang genting bercat merah. Kupandangi
dengan seksama rumah yang telah lama
kutinggalkan ini. Semuanya tidak ada yang berubah seperti tiga tahun
lalu. Cuma ada beberapa bagian yang direnofasi rupanya. Di teras depan berjejer
beberapa pot tanaman hias. Aku masih ingat, dulu aku sering menyirami seluruh
pot-pot itu. Sedangkan di halaman rumah ada satu buah pohon mangga dengan buah-buahnya
yang sudah mulai mengunimg.
Sungguh aku sangat meindukan
rumah ini. Aku rindu akan bunga-bunga di pot itu untuk kusirami kembali. Lantas
betapa asiknya aku memakan buah mangga itu jika sudah masak. Apalagi sekarang
sudah menguning. Ingin rasanya aku memetiknya, lalu merasakannya betapa buah
itu sangat manis rasanya.
Setelah lama mematung di depan rumah, bakhirnya aku
langkahkan kakiku masuk ke dalam halaman rumah yang begitu kurindukan ini.
“Assalamualaikum…!”.
“Waalaikumsalam.”
Terdengar seseorang menjawab salamku dari dalam. Suara itu sudah tidak asing
lagi bagi diriku, dialah ibuku yang telah membesarkanku. Perempuan separuh baya
itu kini terpaku memandang ke arahku. Segera aku mendekatinya untuk bersalaman.
Rupanya ibuku tidak kuasa menahan rasa haru yang mendalam. Dari mata yang mulai
sayu itu kini mengalir buliran-buliran bening menyerupai kristal. Akupun tak
dapat menyembunyikan keharuanku. Lagi, kini mataku sudah mulai basah karena air
mata.
~~(Me & You)~~
Sudah dua hari ini aku berada
dalam keheningan kampung halamanku. Matahari sudah mulai tenggelam, ketika aku
baru saja keluar dari kamar mandi. Segar rasanya kembali menikmati air
pegunungan. Sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang. Aku harus segera
berkemas untuk pergi ke masjid dekat rumahku dan ingin merasakan betapa
indahnya sholat berjama’ah bersama orang-orang kampung. Dan pastinya lagi
mereka akan menyapaku.
“Tok.. tok.. tok….” Tiba-tiba
saja terdengar suara ketokan dari luar.
“Iya.. sebentar,” jawabku berteriak
seraya bangkit menuju pintu. Kubuka pintu dengan pelan, seraut wajah mungil
berumur tujuh tahunan menyembul dari luar.
“ Kak… ada kak rino di depan, katanya
sedang menunggu kakak.”
“Oh iya, makasih ya An, bilang
sama kak Rino tunggu sebentar.” Aku baru
sadar kalau aku punya janji sama Rino, mau pergi ke mushalla kampung sekaligus
silaturrahim sama teman-teman lamaku.
“Yuk No, cabut!”
“Loh…, kok keburu, padahal ibu
sudah bikin minuman buat nak Rino.” Ibuku tiba-tiba saja datang dengan
menjinjing nampan berisi minuman.
“Ya udah no, diminum aja dulu.”
“Mau kemana sih? Kok
kayaknya buru-buru banget.”
“Mau silaturrahim ke teman-teman
bu, sudah dua hari ini aku diam di rumah, kan sumpek di rumah terus.” Ibuku
hanya tersenyum mendegar penuturanku.
“Yuk no
berangkat!” ujarku seraya bangkit dari sofa yang kududuki
“Hati hati ar…!”
Letak mushalla kampungku
sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja jalannya lumayan berliku. Untuk sampai ke mushalla aku harus
melewati beberapa perumahan yang berjejer di pinggir jalan kampung. Dari perumahan
penduduk tampak lampu lampu tempel mulai besinar menerangi jalan.yang kulalui.Semua
rumah penduduk diterangi lampu tempel,karena memang hingga kini,kampungku belum
terjamah PLN.
Setelah kurang lebih lima
belas menit mengitari perumahan penduduk, akhirnya aku dan Rino sampai juga di Mushalla
kampung yang kami tuju. Ada beberapa pemuda seusiaku tengah duduk bergerombol
di teras Mushalla.Wajah wajah mereka sudah tidak asing lagi bagi diriku, mereka
adalah teman temanku dulu waktu SD.
“Hallo teman teman…! lihaat
siapa yang saya bawa”. teriakan Rino mengagetkan mereka, hingga semua mata
tertuju pada diriku.
“Ardi …!” Teriak mereka histeris
menyerupai sebuah kur. Akupun berhambur menuju mereka. Kupeluk mereka satu persatu
untuk melepaskan kerinduanku yang teramat sangat.
“Tambah ganteng aja kamu Ar…”.
Tiba tiba saja terdengar celetuk di antara mereka.
“Ah…bisa aja kamu Dod..!”. Timpalku
sekenanya tuk menahan merah mukaku.
“Iya nih tambah gemuk lagi.” Dino nyeletuk dari belakang.Temanku
yang satu ini orangnya agak kurusan,hingga tak jarang teman temanku yang lain
menjulukinya dengan si ”krempeng”. teman temanku kembali riuh dengan ledekan
dino tadi.
“Oh iya Din,gimana sekolahnya
?.”
“Alhamdulillah Ar lulus,kamu
sendiri gimana ?”.
“ Ya berkat do’a kalian semua
aku sudah jadi ustad sekarang.” Gurauku sekenanya.
“Ar lihat tuh…!.” Rino yang
dari tadi diam tiba tiba angkat bicara sambil memberi isyarat dengan dagunya. Kupalingkan
mukaku kearah yang ditunjuk rino.Seketika deg…tampak tiga orang perempuan
berkerudung berjalan gontai menuju kemari. Salah satu dari mereka ada yang
sudah saya kenal, Aisyah. Sebelum sempat kuberpaling tiba tiba mata kami saling
beradu. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Tiba tiba saja aku menjadi
kikuk, apa lagi ledekan teman teman kian menjadi.
Aisyah berlalu di samping
gerombolan kami dengan tertunduk. Tampak wajahnya memerah menahan ledekan teman
temanku. Sementara akupun tak dapat menahan perubahan rona mukaku. Aku hanya
bisa menatap langkah gontai Aisyah hingga hilang di telan pintu Mushalla.
“Ah, kalian ini bikin malu aku
saja.lihat tuh aisyah marah…!”
“Itu sih bukan marah, api
takjub melihat sang pangeran datang” Sambil berkata begitu Dodi dengan cepat melejit
menghindari cubitanku.
“Sudahlah Ar…tampaknya shalat
jamaah akan segera di mulai, dari pada ketinggalan shalat jamaah lebih baik
kita shalat dulu.” Sambil memegang lenganku rino menimpali dari belakang.Akupun
urung tuk mengejar Dodi.
Dengan
perasaan yang tidak menentu kulangkahkan kakiku menyejajari teman temanku yang
sudah mulai masuk ke mushalla. Di sana sudah banyak orang orang berjejalan.Kuselipkan
diriku diantara jejalan para jamaah. Aku tidak berani menoleh kebelakang karena
di sana para jamaah wanita lumayan banyak. Tentunya di sana juga ada Aisyah, Aku
tidak berani memandangnya aku takut ia marah karena kejadian tadi. Akhirnya
kuputuskan untuk mengonsentrasikan pikiranku pada shalatku saja. Selang
beberapa lama kemudian aku telah larut dalam shalat yang kutunaikan.
~~(Me & You)~~
Sudah lima belas menit aku
duduk termangu di belakang mushalla, menunggu kedatangan Aisyah. Entah sudah
yang keberapa kalinya kulirik arlojiku. Malam ini adalah malam yang bahagia
sekaligus duka bagi diriku, bahagia karena besok aku akan berangkat melanjutkan
studyku ke mesir, namun disamping itu semua hatiku tak kuat menahan gejolak karena
akan berpisah dengan Aisyah. Semua ini bermula sejak seminggu yang lalu aku
menerima telegram dari Mesir, bahwasanya aku diterima sebagai mahasiswa
univesitas AL-AZHAR Cairo. Aku sangat bersyukur dengan semua itu, tapi itu
berarti aku harus berpisah dengan Aisyah.itulah yang menjadi beban pikiranku
saat ini.
“Eh..no tadi pagi dia bilang
apa ? mau datang ngga’?” Aku sudah tak sabar lagi.
“Tenang Ar dia pasti datang,sabar
dikit kenapa.” Tampaknya Rino sudah mulai kesal dengan sikapku.
Dari kejahuan kulihat
berkelebat dua bayangan berkerudung.Kupicingkan kelopak mata tuk menajamkan
pengelihatanku. Makin lama makin tampak, Aisyah berjalan beriringan dengan
Maisaroh temannya.
“Maaf kak… agak terlambat, soalnya
tadi Iis masih bantu bantu Ummi.”
“Ah…nggak apa apa is, aku juga
baru datang kok.” Kilahku sekenanya.
“Oh …iya roh, tampaknya kita
mengganggu nih..”. Rino nyeletuk dari belakang.aku mengerti maksud Rino, ia
membiarkan kami agar lebih leluasa berdua.
“Rino, Maisaroh, terima
kasih.” Ujarku lirih sebelum mereka berlalu meninggalkan kami. Rino hanya
mengangguk sambil menepuk nepuk pundakku.
” Semoga sukses.” Ujarnya
lirih, lalu berlalu meninggalkan kami berdua. Sepeninggal Rino dan Maisaroh, kuajak
Aisyah untuk duduk di bawah pohon tempatku duduk tadi.
“Kak, kapankah kita akan
bertemu lagi?” Dengan suara parau tiba tiba saja Aisyah menjejaliku dengan
pertanyaan yang sulit aku jawab. Sambil memeluk kedua lututnya, matanya
tertunduk memandangi jemari lentik kakinya.
“Entahlah Is, mungkin kalau
tidak ada halangan, insyaallah tiga tahun lagi aku akan kembali untuk
meminangmu.”
“Aku takut kak…, aku takut
kita tidak bertemu lagi.” Kali ini Aisyah tidak dapat menahan bendungan air matanya lagi. Isaknya mulai terdengar, sementara
wajahnya ditelungkupkan pada kedua lututnya. Akupun sudah tak kuat lagi menahan
desakan air mata yang sedari tadi ingin keluar. Dengan segenap jiwaku, kurangkul
dan kurebahkan kepalanya pada dada bidangku. Damai rasanya hati ini.
“Ssst… jangan bilang begitu
Is, berdoalah dan yakinkanlah dirimu, aku pasti kembali.”
Malam makin memuncak, seiring
dengan berputarnya waktu. Bulanpun tampak malu-malu bersembunyi di balik
temaram awan. Kukendorkan dekapanku pada pundak Aisyah. Berat rasanya
kulepaskan pelukanku ini, karena aku tak ingin bearpisah dengannya.
“Is, tampaknya malam semakin
larut, kamu harus cepat pulang.” Bisikku. aku bangkit dari dudukku, dan
berjalan beberapa langkah hingga membelakangi Aisyah. Aisyah pun bangkit mengikutiku.
dari belakang dan menahan pundakku. Dengan perlahan kubalikkan badanku
menghadap padanya. kulihat mata teduh itu semakin penuh dengan air mata.
“Kak, sebelum kakak pergi aku
mau kakak menyimpan ini.” Sambil berkata begitu Aisyah melepaskan sebuah kalung
yang menempel di lehernya dan mengalungkannya padaku. kembali kupeluk erat
Aisyah dengan segenap jiwaku.
”Aku akan menunggumu kak…”. Suara
serak Aisyah menggema di gendang telingaku untuk yang kesekian kalinya .lalu ia
berbalik dengan langkah lunglai dan tak menoleh lagi. ingin kumenjerit
memanggil namanya, namun aku tak mampu. aku haya bisa menatap langkah langkah
lunglai dan kobaran jilbabnya berkelebat di kegelapan malam. aku terus menatap
sosok aisyah hingga hilang ditelan tikungan. “Selamat tinggal Aisyah”. Gumamku
dalam hati.
Al-Amien, 2005
...........................................
Cairo, 19 Maret 2013 M
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan dan komentar anda..^_^