Tulisan ini lanjutan dari tulisan sebelumnya; "Ijen Expedition"
“Bangun! Bangun euy!“, Suara Cindil berteriak membangunkan saya, Cepi,
dan Juail yang tengah terbaring kedinginan di dalam tenda, yang sebenarnya
semenit pun masih belum sempat memejamkan mata dengan sempurna. Malam itu tidur
kami memang sempat terganggu, karena di salah satu sudut lapangan tempat kami
medirikan tenda ada sebuah “komunitas“ yang sedang mengadakan acara. Sound
System berdentam dan kembang api tak henti pecah di angkasa sepanjang malam. Belum
lagi dingin yang membelit permukaan kulit.
“Ayo cepetan bangun, sudah jam dua belas nih, sudah banyak yang
berangkat!“, Rivo menambahkan dari balik kegelapan.
Saya pun segera keluar dari tenda mungil yang sebenarnya hanya
cukup untuk dua orang itu, begitu pun dengan Cepi dan Juail. Kami segera membongkar tenda dan membereskan
barang serta peralatan camping yang masih berceceran, lalu memasukkannya ke
dalam Tas Carrier milik Cepi. Saya pun tak lupa segera mengecek semua barang
bawaanku dan bersiap-siap untuk memulai pendakian malam itu.
Setelah semua dirasa sudah siap, akhirnya
sekitar jam 00:30 kami berlima berangkat, dan memulai pendakian setelah
sebelumnya berdoa bersama terlebih dahulu. Dengan kantuk yang sama sekali belum
sepenuhnya hilang, saya pun melangkah dengan terseok-seok mengikuti jalur
pendakian, menembus kegelapan malam.
Medan awal pendakinan jalurnya masih tampak
landai, namun makin lama jalur pendakian mulai terasa semakin terjal dan
miring. Barangkali kemiringannya berkisar antara 30-35. Sesekali kami menyalip
pendaki lain atau sebaliknya kami yang disalip oleh rombongan lain, kebetulan
malam itu Gunung Ijen memang ramai sekali dengan para pendaki, bahkan diantara
mereka saya sempat melihat para pendaki asing.
Malam terus merambat pelan. Kami berlima masih terus berjalan,
membelah malam di tengah bubukitan terjal. Gugusan bintang, desau angin malam,
dan suara riuh binatang jalang, tak
henti-henti menyapa kami di sepanjang pendakian. Sesekali kami beristirahat
sejenak di pinggir jalan, bersandar pada akar-akar pepohonan, batang pohon
tumbang, bahkan di atas tanah basah sekalipun tanpa beralaskan apapun. Dari
radius berpuluh-puluh meter saya dapat melihat sinar senter para pendaki membentuk
titik-titik cahaya kecil yang terlihat seperti kunan-kunang. Mereka adalah para
pendaki yang telah berangkat jauh sebelum kami.
Setelah kurang lebih satu jam melakukan pendakian, akhirnya kami
pun sampai di Pondok Bunder, salah satu post tempat istirahat yang ada
di ketinggian 2214 Meter Di Atas Permukaan Laut (MDPL). Pondok bunder merupakan
post tempat transit para penambang untuk menimbang hasil belerang yang dibawa
dari puncak gunung. Namun juga digunakan sebagai tempat istirahat oleh para
pendaki. Di tempat ini juga dilengkapi dengan fasilitas warung yang menyediakan
air mineral dan beberapa keperluan lain. Kami pun ikut beristirahat sejenak dan
berbaur bersama beberapa rombongan lain untuk melepas lelah.
Kurang lebih lima belas menit lamanya kami beristirahat di Pondok
Bunder, setelah itu kami segera melanjutkan pendakian kembali, karena pendakian
masih tinggal separuh perjalanan lagi. Track pendakian selanjutnya terbilang
cukup landai, namun harus tetap waspada karena jalur yang harus kami lalui
selanjutnya adalah jalan yang berada di tepi jurang. Di tepi kiri merupakan lereng
terjal sedangkan disamping kanan adalah jurang yang teramat dalam. Kami harus
extra hati-hati, sedikit saja salah langkah tentu saja kita akan nyungsep
ke dasar jurang.
Sejak dari peristirahatan Pondok Bunder tadi,
saya mengambil alih Tas Carier yang berisi peralatan camping. Sedangkan ransel
saya sendiri diambil alih oleh Rivo. Kami bergantian memanggul Carier karena di
dalamnya berisi peralatan camping yang memiliki beban cukup berat. Sambil
menyusuri lereng terjal di kegelapan saya memanggul carier itu dengan langkah
terseok-seok. Ini pertama kalinya saya memanggul Tas Carier sebegini gede. Tapi
itu semua tidak menyurutkan semangat saya untuk terus melangkah menuju puncak.
Setelah dua jam lebih berjalan menyusuri
kegelapan malam dengan bantuan dua buah sorot senter yang kami bawa, akhirnya
kami pun sampai di puncak Gunung Ijen. Para pendaki lain tampak bergerombol
dengan rombongan masing-masing sambil bersembunyi di balik ceruk bebatuan mencoba
melindungi diri dari dingin yang semakin mendekap erat. Waktu kira-kira sudah
menunjukkan pukul 02 : 30, ternyata kami sampai lebih cepat dari pada yang kami
perkirakan.
Sesampai di puncak, saya, Cindil, dan Rivo langsung
bergegas menuju kawasan Blue Fire yang berada tepat di samping kawah. Sedang cepi
dan juail lebih memilih tinggal di atas. Untuk sampai di samping kawah kami
masih harus menuruni tebing curam dan licin yang jaraknya berkisar antara 100
meteran ke dalam perut gunung. Jalannya yang licin dengan tebing yang teramat
curam kembali memacu adrenalin kami. Jika sedikit saja terpeleset barangkali
kita akan langsung tercebur ke dalam kawah atau jatuh ke bebatuan runcing yag
ada di bawah.
Satu-satu saya terus melangkah, berpijakan
pada bebatuan licin dan berpegangan pada tebing. Dari kejauhan sudah terlihat
cahaya biru yang memancar dari arah kawah. Cahaya itu yang sering kali disebut dengan
“Blue Fire” oleh para pendaki. Api alam berwarna biru yang konon hanya ada dua
di Dunia, di Islandia dan di Bumi Pertiwi ini, yaitu yang berada di kawah ijen
ini sendiri.
Di tengah perjalanan saat menuruni tebing beberapa
kali saya berpapasan dengan para penambang yang memikul bongkahan belerang yang
diambil dari sekitar kawah. Gunung Ijen memang memiliki kandungan
belerang yang sangat tinggi yang bersumber dari perut gunung. Konon potensi
belerang dari gunung ini bisa mencapai 60 ton per hari. Sedangkan dari jumlah
itu hanya 20 persen saja yang dimanfaatkan oleh sekitar 350 penambang. Atau
sekitar 15 ton saja dari sekian banyak belerang yang dihasilkan oleh kawah
Ijen.
Setelah sampai di bibir kawah, saya dapat dengan jelas melihat
nyala api biru yang timbul tenggelam karena terhalang oleh luapan asap tebal yang
dihasilkan dari pembakaran belerang oleh Blue Fire itu sendiri. Bau belerang
segera memenuhi indra penciuman saya. Angin bergolak tak tentu arah, sesekali
bergolak ke arah tempat saya berdiri di pinggiran kawah dengan membawa gumpalan
asap tebal yang memerihkan mata. Oleh sebab itu saya tak berani berlama-lama berada
di bibir kawah ini, karena bau belerang dan kepulan asap itu cukup berbahaya
bagi pernafasan. Saya pun sempat terbatuk-batuk ketika tanpa sengaja menghirup
asap belerang itu. Tak lama kemudian akhirnya saya kembali ke arah tempat saya
datang tadi, kembali menaiki tebing terjal sambil berpegangan pada bebatuan
curam untuk kembali ke puncak.
----
Malam rupanya masih cukup pajang. Masih tinggal sekitar 2 jam lagi fajar akan menyingsing. Saya, Cindil,
dan Rivo kembali ke puncak dan bergabung kembali dengan Cepi dan Juail. Kami segera
bersembunyi di balik salah satu ceruk bebatuan, berlindung dari dinginnya angin
puncak ijen. saya mencoba membuat api unggun dengan kayu seadanya untuk
mengusir dingin yang semakin mencekal.
Malam terus merambat dengan perlahan, angin dingin masih menyeruak
masuk ke sela pakaian yang saya kenakan. Tanpa pikir panjang saya segera
merebahkan diri di atas permukaan tanah berselimutkan kain sarung lusuh yang sengaja
saya bawa dari rumah. Langit malam itu tampak indah, memamerkan rembulan dan gugusan
bintang dari jarak lebih yang dekat. Perlahan mataku memejam, merenungi luasnya alam, dan menghayati kelamnya malam. Dan akhirnya, dini hari itu juga kami rebah dalam dekap dingin yang mencekam hingga fajar datang menjelang.
Ijen In Memorian, 17-18 Agustus 2013 M *diselesaikan di
cairo, 12 Januari 2014 M.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan dan komentar anda..^_^