Jam sudah menunjukkan pukul 00:00 ketika dua Bus rombongan Tour yang
saya ikuti tiba di Kaki Gunung Sinai, atau tepatnya di depan pintu masuk jalur
pendakian menuju puncak. Dinginnya udara malam pegunungan segera menyambut
kedatangan kami begitu kami keluar dari dalam Bus. Para pengunjung yang akan
mendaki malam itu ternyata cukup banyak, baik pengunjung local maupun asing
sama-sama tumpah ruah, Semuanya tampak berjubel di depan pintu masuk menanti
giliran pemeriksaan sepelum memulai pendakian.
Saya tidak menyangka pendakian ke Jabal
Musa ini sampai sebegitu ketatnya. Tak ubahnya memasuki istana kepresidenan
saja, satu persatu para pendaki diperiksa, Carier dan Ransel dibuka dan
digeledah, setelah itu kita masih harus melalui Metal Detector yang menyerupai
pintu “kemana sajanya” Doraemon. Dan hal ini cukup banyak memakan waktu, hingga
kami semua baru selesai menjalani pemeriksaan sekitar jam 12 : 30.
Berselang beberapa menit
setelah selesai menjalani prosedur pemeriksaan saya beserta rombongan yang lain
segera memulai pendakian menembus kegelapan malam. satu-satu saya melangkahkan
kaki mengikuti jalur pendakian. Ada dua jalur yang bisa digunakan oleh pendaki
untuk bisa sampai di puncak. Pertama, jalur yang dikenal dengan nama Step
Of Repentance atau biasa disebut dengan “Tangga Pengampunan”. Jalur ini
berupa undakan batu yang konon dibangun oleh para Biarawan St. Catherine yang berada di kaki gunung Sinai.
Kedua, jalur Shiket
el-Bashait, jalur ini dibangun oleh salah satu penguasa Mesir yang bernama
Ibrahim Abbas Pasha pada tahun 1853. Dan malam ini rombongan kami memilih jalur
yang kedua ini, karena walaupun jaraknya lebih jauh, tapi jalannya relatif
landai dan cukup mudah untuk dilalui. Kedua jalur ini, baik Step Of Repentance
maupun Shiket el-Bashait, nantinya sama-sama akan berujung di "Seven Elders of Israel", Post terakhir sebelum
menuju puncak yang berupa tangga-tangga batu yang konon berjumlah 750 anak tangga menuju puncak
Waktu terus beranjak pelan. Malam pecah
dengan riuh para pendaki yang tampak berjalan beriringan memenuhi sepanjang
jalur pendakian. Saya, Icam, dan Saddad, kami bertiga yang sejak awal berjalan bersama
memisahkan diri dari rombongan dan memilih berjalan sendiri mengikuti naluri
kami. Sementara rombongan kami sebagian masih ada di belakang dan sebagian lagi
sudah berjalan mendahului kami.
Di sepanjang perjalanan beberapa kali saya
berpapasan dengan para penduduk lokal yang berasal dari suku Badui penghuni
sekitar kaki gunung Sinai. Tak heti-hentinya mereka menawarkan jasa pendakian
dengan menunggangi Unta. Oleh karena itu selain dikenal dengan Shiket
el-Bashait, jalur yang saya lewati ini disebut juga dengan Jalur Unta. Karena
banyaknya suku badui yang menawarkan jasa pendakian dengan menunggangi Unta. Tarif
yang mereka tawarkan pun beragam, mulai
dari 150 hingga 200 le. Tarif yang lumayan mencekik bagi kantong kami yang
kebetulan memang membawa bekal pas-pasan ini.
Debu tampak beterbangan tersepak oleh kaki-kaki para pendaki. Saya
dapat melihat dengan jelas debu-debu itu berterbangan di kegelapan malam karena
terpaan sinar Head Lamp yang saya kenakan. Sementara trak pendakian
makin lama makin terjal, menanjak, dan berbentuk zig-zag. Jalur pendakian
menuju puncak gunung sinai sebenarnya tidak terlalu sulit, namun karena jalur
yang dilalui hampir seluruhnya adalah
hamparan dan bongkahan bebatuan, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi para
pendaki.
Sepanjang jalur pendakian saya juga sempat menemukan beberapa post
peristirahatan, entah ada berapa banyak post saya tidak sempat menghitungnya.
Post-post itu merangkap sebuah warung yang menyediakan berbagai macam kebutuhan
baik makanan dan beberapa keperluan pendakian lainnya. Namun dengan harga yang
cukup menggila tentunya. Indomi yang di kairo berharga 1,5le. Di sini bisa
sampai 10-15 le.
Malam terus beranjak menuju pagi. Setelah tertatih-tatih kurang
lebih 4 jam lamanya menaiki ratusan ratusan anak tangga di sepanjang jalur pendakian,
saya pun akhirnya sampai di puncak. Jam kira-kira sudah menunjukkan pukul
05:00. Dingin lagi-lagi menyergap sekujur tubuh, suasana gelap masih menyelimuti
seluruh puncak gunung sinai. Para pendaki yang sudah sampai terlebih dahulu
sudah memenuhi setiap sudut puncak Sinai, bersembunyi di balik ceruk bebatuan, merapat
pada dinding gereja tua yang berada di puncak, dan sialnya saya dan kedua teman
saya sempat tidak mendapatkan tempat yang tepat untuk bersembunyi dari dingin
yang semakin menggila.
Sebelum menemukan tempat yang tepat untuk berlindung dari dinginnya
angin malam, saya sempat mengigil kedinginan di atas sebuah batu sambil
terbengong memandangi Basilika tua yang berdiri gagah di keremangan malam.
inilah The Chapel Of The Holly Trinity, sebuah Kapel atau Gereja kecil yang konon
dibangun di atas Loh atau lempengan batu yang bertuliskan 10 perintah
Allah kepada Nabi Musa As.
The Chapel Of The Holly Trinity memiki sejarah yang panjang,
beberapa kali mengalami pasang surut karena pengaruh kekuasaan yang menguasai Semenanjung
Sinai. Sejarah mencatat pertama kali Basilika ini dibangun pada tahun 363 M,
namun karena konstruksi yang kurang memadai bangunan basilika ini sempat
runtuh, lalu dibangun ulang oleh salah satu Kaisar Romawi yang bernama Justinian
pada tahun 530.
Selanjutnya pada abad ke-11 lagi-lagi basilika Justinian ini runtuh
karena serangan Al-Hakim bin Amrillah, Khalifah ke 6 Dinansti Fatimiyah di
mesir, yang memang terkenal dengan ke-intolerannya terhadap pemeluk agama lain,
khususnya Kristen. Karena sikap intolerannya ini pada masa kekuasaanya tercatat
kurang lebih sebanyak 3 ribuan gereja dihancurkan di seluruh tanah mesir.
Bahkan salah satu gereja terpenting umat Kristen yang berada di Yerussalem, “Church
of the Holy Sepulchre“ atau Gereja Makam Kudus juga tak luput dari agresi
penghancuran. (Gereja Makam Kudus oleh umat kristen diyakini sebagai tempat
penyaliban Yesus)
Setelah hampir dua jam menunggu dalam dekap dingin yang mencekam, pagi
akhirnya menjelang. Seberkas semburat bola kemerahan menyembul dari ufuk timur.
Pendarnya yang keperakan perlahan menerpa seluruh puncak Sinai. Semua mata mengarah
pada satu titik, memandangi mentari yang perlahan muncul dari balik batas
cakrawala. Sunrise muncul dengan indahnya.
Dan di puncak bagian selatan samar-samar saya masih melihat butiran
salju yang mengendap di celah bebatuan. Sayangnya kami datang agak terlambat,
salju yang ada di puncak gunung sinai kini sudah banyak yang mencair karena
musim dingin sepertinya juga tidak lama lagi akan berakhir. Namun semua itu tetap tidak
mengurangi kebahagian saya pagi itu. Semua kelelahan dan dingin yang mendekap
sejak semalam, tiba-tiba terbayar sudah setelah melihat panorama indah di
sekeliling puncak gunung Sinai.
Ah! Akhirnya, 2285 Meter Di Atas Permukaan Laut, tanpa saya sadari saya telah berdiri di puncak tertinggi
tanah Mesir.
Cairo, 01 Februari 2014 M
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan dan komentar anda..^_^